Saturday, October 15, 2011

Angin Senja

“Dio kamu kenapa ?” Seorang perempuan menyapa dari kejauhan.
Dio mengangkat wajahnya dan melihat ke arah perempuan itu. Ia mencoba menebak siapa perempuan itu. Ternyata dia adalah Fajar, teman sepermainan Dio. Dio hanya menatap, tidak berbicara dan menunduk lagi.
“Aku nemenin kamu yah.” Fajar menghampiri Dio, kemudian ia duduk di sebelahnya.
Dio hanya menatap dan kemudian menunduk. Ia memilih diam ketimbang berbicara, lidahnya seakan beku, badannya serasa lemas. Sikap Dio pada siang hari itu sangatlah berbeda. Dio yang periang, cerewet dan pelawak mendadak berubah menjadi Dio yang diam, cemberut dan dingin. Fajar menyadari ada yang salah dengan sikap Dio belakangan ini, ia ingin berbicara dengan Dio tetapi ia belum menemukan waktu yang tepat.
Dio dan Fajar adalah teman sejak kecil. Hubungan persahabatannya, mereka peroleh dari relasi antar orang tuanya. Ayah Dio dan Ayah Fajar adalah partner kerja, sedangkan Ibu Dio dan Ibu Fajar adalah teman sepermainan sejak kecil. Rumah merekapun bersebelahan, jadi tidak aneh jikalau setiap hari Dio dan Fajar pergi dan pulang sekolah bersama-sama. Sekolah mereka pun selalu sama sejak TK hingga SMA.


“Kriiiiing Kriiiiiing Kriiiiiing.”

Bel sekolah berbunyi, menandakan waktu istirahat telah usai. Sebagian siswa berlari penuh semangat melewati koridor dan menuju kelas, tetapi berbeda dengan Dio. Ia serasa malas sekali untuk berdiri, tulangnya serasa sudah terlem dengan super glue hingga sulit sekali untuk bergerak. Namun rasa malas itu mendadak sirna. Fajar tersenyum dan mengangkat Dio untuk berdiri.
“Dio yang semangat yah, aku tahu kamu pasti bisa.” Fajar mencoba membuat Dio kembali menjadi Dio yang ia kenal.
Dio menatap Fajar dalam-dalam. Secara pelan tetapi pasti, Dio mencoba tersenyum. Lebar dan makin lebar. Dio tersenyum, Fajar juga tersenyum. Keduanya bertatapan
“Plaaaaaak!” Fajar mendadak menampar pipi Dio.
Dio tersentak, senyumnya menghilang seiringan dengan datangnya rasa perih di pipi kanan Dio. Ia menatap Fajar makin dalam.
“Hehe, maaf Dio ada nyamuk zebra di pipi kamu.”
kalau gue cewek udah gue hajar nih cewek, gue jambak-jambak pake tali rafia. Ditarik sama kuda ampe ujung kulon.” Batin Dio. Ia kesal tetapi senang, karena masih ada yang peduli dan sayang dirinya.
Keduanya langsung tertawa dan berjalan bersama menuju kelas.
“Kamu itu bego, gak berguna, gak bisa apa-apa. Cuman bisa ngomong aja. Kamu tuh cuman diciptakan untuk dihina, kamu layak dihina !”
“Orang lain akan lebih senang kalau kamu tidak ada, kamu gak eksis di dunia ini, kamu gak pernah diciptakan.”
“Orang lain gak butuh kamu, tapi kamu yang butuh mereka, dan akan selalu butuh mereka. Kamu itu gak diperlukan, hanya dipake seklai dan dibuang dan dibakar. Dimainkan secara semena-mena”
Kalimat-kalimat ini terbacakan dengan keras di pikiran Dio. Sepanjang perjalanan pulang, ia terus merenunginya. Tak jarang ia hampir tertabrak bemo karena ia melamun sembari berjalan. Menunduk dan berjalan dengan gontai. Fajar yang memerhatikannya sedari tadi tidak dapat berbicara banyak, ia hanya menatap Dio dan menjaganya agar tidak tertabrak bemo.
“Dio kamu kenapa sih? Cerita dong sama –“ Belum selesai Fajar berbicara, Dio mendadak berhenti dan menatap ke langit.
“Fajar, pernahkah kamu berpikir jikalau kamu tidak ada di dunia ini, apakah orang lain yang sekaran dekat denganmu akan lebih bahagia? Apakah mereka lebih senang?”
Pertanyaan ini menyentak dan memaksa Fajar untuk berpikir keras. Jarang sekali Dio mempertanyakan mengenai hal seperti ini. Fajar terbilang cukup pintar di sekolah tetapi sangat sulit untuk menjawab pertanyaan Dio ini.
“Ehm, aku gak tau Dio. Kalau tidak ada aku di dunia ini, ceritanya pasti lain. Mungkin kamu sekarang sedang berjalan dengan orang lain atau bahkan berjalan sendiri. Kita gak pernah tahu apa yang akan terjadi –“ Lagi-lagi Dio menyela perkataan Fajar yang belum selesai.
“Kalau aku mati, siapa yang akan sedih yah?”
“Tentu saja keluargamu, papa, mama, dan aku pasti akan sedih sekali. Kamu kok mendadak ngomong seperti ini. Pamali loh.”
“Aku merasa, aku gak berguna lagi di dunia ini. Aku cuman seperti bungkusan permen yang telah kehilangan permennya. Rasa manis sudah tidak ada lagi di dalam diriku. Aku ingin mati saja rasanya.”
“Dengar aku Dio.” Fajar mengguncang tubuh Dio. “Jangan pernah kamu berkata, kamu ingin mati. Tidak boleh Dio, itu hal yang pamali dan amit-amit terjadi pada kita. Kamu harus sadar itu.” Fajar mengeraskan suara. Beberapa orang di sekeliling mereka melihat kepadanya.
Dio menatap Fajar kemudian membuang pandangannya ke jalan. Dio tidak bisa berkata-kata lagi. Habis sudah kata-kata dalam kamusnya.
“Dio, kamu harus semangat. Semangat dong. Mana Dio yang periang? Mana Dio yang cerewet? Mana Dio yang selalu tersenyum? Aku kangen Dio, aku kangen. Sudah tiga hari kamu begini terus. Dio jawab aku, kamu kenapa sih?” Air mata Fajar jatuh, entah mengapa air matanya bisa jatuh.
“Maaf Jar, aku masih belum bisa cerita. Ini semua bagai teka-teki dalam hidupku. Semua begitu hambar dan pahit. Semua adalah hitam, gelap, sunyi, dan membuatku serasa terpuruk. Terpuruk di pojok kamar, ketakutan dan kengerian membayangiku. Aku, aku, sudah tidak tahan lagi Jar.” Batin Dio. Ia tidak bisa berkata-kata lagi, semua terasa beku di lidahnya.
Dio berjalan meninggalkan Fajar. Fajar masih berdiri terdiam menatap Dio. Untuk pertama kalinya, ia merasa ada yang hilang dari hatinya. Setengah hatinya tampak pergi tertiup angin senja.
<><><>
Angin senja itu meniup pelan rambut Dio. Gemerisik suara daun yang bergesekan membuat Dio sadar, bahwa sekarang dirinya sedang berada di atas pohon dan ia memegang sebuah tali. Ia sedang mencoba bunuh diri.
“Surat ini aku tinggalkan di sini aja deh, semoga ada yang baca dan tahu mengapa aku berbuat seperti ini. Aku harap kalian mengerti yah.” Batin Dio.
“Zreeeet… Guzraak…” Dio pun tergantung di bawah pohon dengan tali yang mengikat leher.
<><><>
Kondisi rumah Dio terasa sangat panic, orang tuanya mencarin Dio. Menelepon kerabat dan Fajar adalah cara terakhir untuk mengetahui keberadaan Dio yang tidak kunjung kembali setelah pulang dari sekolah. Handphonenya pun tidak aktif, hal ini makin mendukung suasana panik.
“Jar, kamu melihat Dio gak?” Tanya Ibu Dio.
“Aku gak lihat bu, coba kita cari lebih teliti. Ayo bu.”
Fajar, orang tua Dio dan beberapa orang lainnya mencoba mencari Dio di halaman komplek. Mendadak ada suara teriakan dari arah taman komplek.
“Kyaaaaaaaaaaaaaaaaa…”
“Siapa itu? Hayo kita samperin.” Seru salah seorang dari mereka yang membantu mencari Dio.
“Diooooo, astaga. Dioooo !!” Ibu Dio berteriak histeris menemukan Dio sudah tergantung tidak bernyawa di pohon taman komplek. Fajar tidak bisa berhenti menangis. Ia mencoba menurunkan Dio, Ia berharap Dio masih hidup.
“Dio bangun! Bangun. Aku ada disini, bangun Dio. Bangun!!” Teriak Fajar dengan histerisnya. Tubuh Dio sudah kaku, wajahnya sudah membiru dan bau busuk sudah mulai tercium dari badannya.
Fajar mememukan sebuah kertas dalam genggaman Dio. Kertas itu adalah surat wasiat. Isinya, “Dear Fajar, maafkan aku temanmu ini yang telah membuatmu sedih. Aku tidak bisa bercerita kepadamu karena aku tahu kamu pasti tidak setuju dengan perbuatanku yang sekarang, tapi aku sudah gak tahan lagi. Rasanya aku sudah ingin mati. Dan sekarang aku sudah tenang. Fajar kamu harus janji yah jaga kedua orang tuaku, buat mereka mengerti. Aku tahu kamu pasti bisa. Hehe. Terima kasih untuk semangatnya selama ini. Aku pasti gak akan ngelupain kamu di alam sana. Terima kasih banyak yah Fajar.” Tangis Fajar makin meledak.
“Kamu bodoh Dio. Kamu bodoh!!!” Teriak Fajar sembari meremas kertas itu.
Angin senja itu menghembus pelan. Membawa sebuah kenyataan pahit bahwa Dio sudah tiada. Terbang menyusuri segala pelosok dan pori-pori udara. Melayang ke angkasa dan terurai oleh gas di udara. Satu tetes tinta di susu, membuat keruh susunya. Dio sudah basah akan bensin, dan ia yang menyulutkan bensin itu. Fajar tidak bisa berkata-kata, ia hanya berteriak memanggil nama Dio.

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...