Wednesday, September 11, 2013

Namaku: Refan. Bab 2

Hal terakhir yang gue inget dari kelas 10 -- selain yang ada di Bab 1 -- yaitu keadaan rumah gue yang kayak kapal pecah. Orang tua gue resmi bercerai. Ayah gue seorang pilot yang super sibuk, yang akhirnya memilih untuk bersetubuh dengan pesawat daripada dengan istrinya mengabdikan diri pada pesawat. Sedangkan ibu gue, dia sibuk sama kegiatan kantor. Iya, beliau wanita yang independen. Gue gak ngerti gimana kisah cinta mereka. Seorang pilot dan wanita karir yang super sibuk. Akhirnya, gue dan adik intelek gue diasuh sama Bibi Jeanette. Kami memanggilnya Auntie Jean. Inilah salah satu alasan kenapa gue yakin ada darah bule di dalam tubuh gue. Yes! Gue orang bule. Bule campuran. Pevita pearce, cewek gue. Amin.

Masuk kelas sebelas adalah sebuah impian remaja, terutama pria. Kenapa? Karena ini waktunya untuk hunting ikan di laut lepas. Banyak orang yang bilang, pertumbuhan fisik perempuan akan terlihat semasa mereka menginjak kelas sebelas. Perempuan cenderung akan terlihat lebih dewasa, layaknya anak SMU. Tidak terlihat lagi sifat SMP yang masih terbawa, kecuali mereka yang memutuskan untuk tetap menjadi anak SMP. Sok unyu. Sok imoet. Mual. Hoek.

Komposisi kelas pun berubah. Gue udah gak sekelas lagi sama mailakat pembuat mimisan -- baca bab 1. Biasanya, skala antara perempuan dan pria cukup terbagi rata, tapi karena banyaknya pendatang baru, akhirnya skala berbalik. Pria menjadi dominan disini, yang artinya akan semakin banyak saingan buat mancing. Ah, dunia gak adil. Namun, tampaknya itu gak jadi masalah karena semua perempuan di kelas, lulus dari uji standarisasi gue. Yes! Banyak ikan gemuk di laut. Lalu, pikiran gue melayang jauh setelah menyadari bahwa gue dikelilingi malaikat kw super. Rasanya kayak raja roma yang lagi makan anggur sambil dikipasin sama daun pisang. Gue ngelamun.

"Pagi anak-anak!" Teriakan ini memecah lamunan gue. Nengok kanan, nengok kiri. Gue mencari sumber suara. Ternyata, itu suara Pak Doni Fapor. Salah satu guru menggelikan yang pernah ada. Beliau berperawakan tinggi besar dengan perut menjuntai ke depan, dilengkapi dengan sikat hitam tebal di atas bibir dan pelindung alami yang tebal di sekitar lengan (red: rambut tangan). Jangan bilang, dia wali kelas gue. Gawat!

"Bagaimana libur kalian? Pasti tidak menyenangkan, karena kalian pasti sangat rindu sekolah. Terutama sa-" Belum selesai bicara, salah seorang murid mendadak tersungkur dan muntah. Semua cengo melihat anak itu, kemudian melirik ke arah Pak Doni.

. . . Suasana hening . . .

Sesungguhnya anak itu gak muntah. Perisitiwa itu cuman kejadian yang terjadi dalam benak gue.

Ini yang sesungguhnya terjadi,
"Bagaimana libur kalian? Pasti-" Tanya Pak Doni.
"Sangat seru! Karena kita tidak perlu ketemu sama Bapak." Teriak salah seorang murid.
"Iya, kita tidak perlu melihat Bapak memainkan rambut yang sudah mulai habis itu." Kelas riuh dengan tawa.
"Bapak mau tahu surga apa yang nyata?" Tanya seorang perempuan berambut ikal.
"Tidak melihat Bapak berada di kelas ini!" Tawa semakin riuh.

Pak Doni diam mematung. Beliau menghela napas panjang. Matanya, mulai berair. Bibirnya bergetar. Inilah satu hal yang menggelikan. Pak Doni memiliki tingkat feminisme yang cukup tinggi. Bahkan dengan bantuan badan besar dan kumis tebal, feminismenya masih terlihat. Biasanya, dalam hitungan lima detik beliau akan...

Gue bahkan belum menyelesaikan kalimat dan beliau sudah pergi. Sungguh aneh dunia ini. Sayang, kamu dimana? Aku rindu.

"One man! Touchdown!" Tampaknya, bakal ada preman kelas nih. Bahagia bener habis ngerjain guru. Padahal gurunya kan unyu menggilikan jijik kayak gitu, kasian kali. Setelah gue perhatikan, ternyata murid yang tadi teriak adalah Philipus Ambrose. Namanya terdengar yunani banget kan? Ayahnya sangat percaya bahwa mereka punya keturunan dewa Yunani. Ayahnya seorang sejarawan yang sangat mengagumi budaya Yunani. Lalu, kenapa gue bisa tahu? Karena dia dulu sempet deketin ibu gue, yang dia kira adalah seorang janda. Dasar genit.

"Bangga banget lu Lip. Biasa kale, bentaran juga lu dipanggil kepala sekolah." Celetuk Chloe. Chloe ini perempuan yang sangat independen. Dia gak takut sama pria, tapi bisa jinak sama pria kalau lu tau cara menaklukannya. Dia memiliki badan yang ideal, rambut yang lurus dan panjang, mata yang indah, bibir tipis, kulit putih, suara yang merdu, eye catchy, tidak mudah dilupakan, jatuh cinta pada pandangan pertama dan sangat ... cantik. Bahkan gue gak bisa melupakan pandangan pertama gue ke dia. Ketika angin sepoi membelai lembut pipi dan WHUUUSH! Rambutnya berkibar. Merpati berterbangan di belakangnya. Aaaaah, aku melihat keperkasaan Pencipta.

"Ooh! Ooh! Jadi ada yang mencoba jadi peramal ... Cantik?" Philip berjalan pelan ke meja Chloe dan dia menatapnya lurus. Tajam.
"Mau ngerayu gue? Percuma. Gue gak butuh rayuan dari elu. Anak mami." Wih! Chloe bisa jadi dingin begitu juga.
"Apa?!" Hahahaha. Wajahnya sih Philip memerah, alisnya bertemu. "Belum pernah dipukul ya?"
"Cupu beraninya sama perempuan. Cupu. Cupu. Sini lawan gue kalau berani!" Teriak gue dari dalam hati. Sejujurnya gue takut sama Philipus. Dia berbadan jangkung dengan otot yang menyesakkan baju dan muka yang garang.
"Sini pukul kalau berani!" Chloe janganlah kamu balas lagi, akang tidak berani untuk membela kamu.
"Untung lu cewek..." Philip berkata dengan nada merendah dan berjalan menjauh. Keluar kelas. Tampaknya dia ke kantin.

Dada gue kembang kempis. Eh bentar, kenapa gue yang jadi panikan dan deg-degan? Mungkin ini telepati dari Chloe kali ya. Ah, aku memang berjodoh dengan seorang malaikat.

===

Kehidupan sekolah gue gak berbeda jauh sama di rumah. Kalau di sekolah, gue adalah seorang nerd yang sok jagoan, di rumah gue adalah anak yang sok pintar padahal  prestasi gue jauh di bawah Vini, adik gue. Dia adik gue satu-satunya yang masih available, eh adik gue cuman satu deh. Berwajah lebih bule dari gue, dengan rambut kecoklatan dan badan yang mulai terbentuk. Belum lagi, dengan kebiasaannya yang suka berolahraga dan makan sehat. Sudah banyak pria yang mengincarnya, tapi mereka tahu bakal sulit mendapatkan Vini. Wong Vini adalah seorang yang independen. Sepertinya sifat ini diturunkan dari Ibu gue.

"Kak, aku kangen ibu dan ayah nih." Celetuk Vini yang menghempaskan dirinya di ranjang.
"Kakak juga kangen sih, tapi mereka punya kesibukan sendiri. Mau bagaimana lagi?"
"Tapi, aku ingin ... setidaknya bertemu dengan mereka. Bercengkrama lagi seperti dulu. Makan bersama lagi saat makan malam, atau sekedar piknik di bukit belakang rumah."
"Hmm.. kakak juga pengen." Giliran gue kali ini yang menghempaskan diri ke atas ranjang. "Tapi, kemungkinan itu sangat kecil. Kamu sendiri juga tau kan, kalau hal seperti itu cuman membuat kita jadi gak bisa maju?"
"Iya Kak."

Sebetulnya, hubungan kami ke orang tua pun tidak seharmonis percakapan kami. Mereka jarang pulang ke rumah, sehingga interaksi kami pun tidak banyak. Kalau pun pulang, waktunya tidak tepat. Antara kami sedang bersekolah, atau kami sudah tidur. Bahkan kami lebih dekat dengan tetangga di komplek yang memperhatikan kami. Pernah suatu malam, kami tidak makan apapun karena Ibu lupa menyiapkan makanan. Alhasil, kami diberikan makanan oleh tetangga sebelah yang kebetulan sedang mampir. Sungguh ironis kan? Tapi orang tua tetap orang tua. Tanpa mereka, kami tidak ada di sini. Mereka adalah pahlawan, tanpa tanda jasa.

"Kak, gimana kabar Kak Clara?"
"Hah? Clara?"
"Ah sok lupa, itu ehem-ehemnya kamu yang dulu. Jaman labil. SMP."
"Kamu labil dong, kamu kan masih SMP."
"..."
"Clara ya, terakhir aku denger sih dia masuk salah satu SMA ternama di kota. Beasiswa pula."
"Yah sayang dong dulu kakak menjauh dari dia, kalau sekarang masih dekat kan bisa jadi pelindung kakak."
"Maksudnya pelindung?"
"Iya, biar kakak gak keliatan bego-bego amat gitu loh. Untuk dapetin cewek pinter kan rada susah."
"Kamu ya!" Gue lempar bantal dan nutup muka dia pake bantal. "Rasakan nih, ngomong sembarangan sama Kakakmu yang bule ini."
"Am... fun, Ka.." Karna kasian, gue sudahi menutupu mukanya pakai bantal. Kalau misalkan dia mati, nanti siapa yang nemenin gue lagi.
"Eh udah malam nih, mandi gih abis itu turun ke bawah. Makanannya udah siap kayaknya."
"Iya-iya." Vini bangun seketika dan berjalan keluar.

Dasar Vini, karna dia gue jadi keinget lagi sama Clara. Gue udah berjuang buat ngelupain dia selama setahun belakangan. Kira-kira gimana kabar dia sekarang ya? Mumpung lagi sendiri, kayak emang tepat banget nih buat ngestalk dia. Hohoho. Eh itu gak gentle, gue harus sms dia. 


Semoga dia masih inget sama gue, sama nama gue, sama kenangan kami, sama ciu- eh ngapain gue cerita kenangan gue sama kalian. Nanti gue jadi makin galau. Hmm.. satu kenangan yang gak pernah lepas dari gue adalah ketika gue secara berani bilang. "Clar, kamu wanita paling jaha cantik yang pernah aku lihat, kamu mau jadi ehemku gak?" Kenapa gak jadi pacar? Karena kata mama anak SMP gak boleh pacaran. Dan jawabannya dibalas sangat lama, tapi jawaban akhirnya Yes. SHE SAID YES. #senangnyalamaranditerima.

Kemudian hening...

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...